Jumat, 30 Januari 2015 0 komentar

Perempuan yang Mewakili Kaumnya


Nak, semua ada jalannya sendiri-sendiri. Semuanya akan baik-baik saja.


Telur ceplok setengah matang dengan sedikit rasa asin, kepulan asap dari nasi putih yang baru diangkat dari tungku dan segelas teh panas siap tersaji di meja. Mama menguraikan dengan jelas apa yang aku suka sewaktu kecil, meski sekarang masih tetap saja begitu. Dengan usia remaja seperti ini, aku masih sama, masih dianggapnya seorang anak kecil. Seorang anak kecil dalam arti anak yang akan selalu butuh kasih sayang dari seorang perempuan yang dipilihkan jadi Ibunya. Entah berapapun usianya nanti, jadi apa anaknya kelak ketika dewasa, dan kemanapun kakinya akan melangkah. 

Akupun tersadar, aku akan selalu merindukan rumah, rumah yang ada dalam pelukannya. Rumah yang selalu terbuka lebar entah apapun kondisiku ketika datang. Kini, meski usia memberikan rasa canggung untuk kembali. Tapi aku selalu ingin kembali merasakannya lagi. Entah meski sekali. Dan mungkin, atau pasti, aku akan selalu kecanduan akan rasa itu.

Menjadi seorang laki-laki memang serba salah, apa lagi mengenai ibunya. Seorang anak laki-laki harus jadi kuat sekaligus lembut. Memang tidak mudah, tapi mama selalu mencontohkannya dalam laku maupun tutur.  Oleh karenanya, ada yang harus jadi hebat, ada yang harus terus menguat tapi tak lupa kemana ia harus selalu berbakti. 

Ma, apa yang kamu inginkan dari anakmu ini? Jawaban yang keluar selalu sederhana dan sama dari mulutnya yang lembut serta parasnya yang ayu. Kamu sehat dan jadi orang yang sukses, nak. Kemudian aku bertanya pada diri sendiri, aku akan sukses dalam hal apa? Bisakah aku jadi sukses? Dalam kondisi yang sekarang ini, doa yang berwujud kata dengan nada berbicara seolah jadi cambukan yang keras. Keras, namun tidak pedih agar aku tersadar dari bayang-bayang kekanak-kanakan. Memang benar, laki-laki tidak bisa jauh dari sifat kekanak-kanakannya tapi tidak menutup juga ia harus terus tumbuh membentuk karakter yang akan membawanya menjadi ‘orang’ di lingkungan sosialnya. 

Ketika aku menatap lurus kedepan, jauh dalam jangkauan waktu, aku merasa hidup dalam ketidakpastian. Didorong oleh harapan seseorang yang melahirkan kita tidak pernah mudah. Mama pun bilang, Nak, semua ada jalannya sendiri-sendiri. Semuanya akan baik-baik saja. Jalani saja, nanti pasti juga ada jalannya. Ya, semudah itu mama menasehatiku maka akan sekeras-kerasnya aku harus berusaha agar terlihat mudah. 

Setiap orang punya jalannya masing-masing untuk sukses. Berarti setiap anak adalah jalan bagi kedua orang tua terutama ibu untuk mengantarkannya pada masa senja yang lebih baik. Jalan yang akan mengantarkannya pada pintu surga. Oleh karenanya, jalan itu harus baik, lurus nan lapang. Agar Mama bisa menikmati kehidupan masa senja sembari melihat anak-anaknya bahagia. 

Teruntuk Mama dan seseorang yang akan menjadi sepertinya. Kami, aku terutama anakmu Ma, mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas segala apa yang telah engkau berikan berupa kebebasan. Kebebasan dalam batas-batas kebenaran dan kejujuran. Adalah rasa bersalah bila saya pernah menyakiti. Adanya sisi kala kami tidak bisa lepas dari keberadaanmu, membuat kami menyadari sepenuhnya keberadaanmu adalah pelita dalam kehidupan. Saya merupakan manusia yang tidak akan pernah utuh tanpa apa-apa yang ada dalam jiwa dan ragamu. 

Engkaulah, Ma, seorang perempuan yang mewakili kaummu. Kaum yang menuntun sekaligus melengkapi kami dalam nurani yang kasat mata namun ada dan terasa. Jika boleh meminjam atau itu masih menjadi hakku, bolehkah aku dalam pelukan lagi dalam canggung yang masih menghantui. Meski sekali, aku ingin merasakannya kembali. 


"Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com” 
Selasa, 20 Januari 2015 0 komentar

Merangkum rindu butuh nyali
Kamu tak bisa menebak, sebanyak apa rindu tersimpan
Lorong-lorong tak berujung, disana rindu bersarang
Menanti tuannya datang mengambil
Entah warna rindu mana yang dipilih
Rindu serupa pelangi siap tersaji

0 komentar

Pada momen tertentu, kita perlu sesekali memeluk sisi 'anak-anak' dalam diri. Belajar terus bangkit walau selalu saja kita terjatuh. Sembari berbisik,'dunia akan baik-baik saja. Terus berjalan hingga nanti kamu bisa berlarian.'

Senin, 19 Januari 2015 0 komentar

Pada apapun yang berada disamping langkah, pada semesta yang belum kita pahami. Kita tak berhak membenci, kita hanya bisa mencintainya. Mencintai, seindah topan mencintai bumi. Cintailah, maka dengannya sesuatu yang ingin kamu benci akan membawamu terbang lebih tinggi lagi.

0 komentar
Telah dirahasiakan, pertemuan yang belum pernah kita tahu muaranya
Telah ditentukan, momen termagis saat jemari kita bersentuhan

Akan ku rindu sampai saat itu datang
Akan ku tunggu ketidakrelaanmu kala kita berjarak

Kita tidak pernah tahu, pada jiwa seperti apa hati kita memilih
Memilih yang telah dipilihkan

Jiwa yang serupa mentari kah? Atau jiwa serupa bayang?
Semuanya indah, aku menyukai keduanya

Sekali lagi, tak usah lelah menunggu
Aku kan berlarian menuju dirimu
0 komentar
Akan aku berikan suatu rahasia padamu, non. Dunia bergerak pada kehancuran dan ketidakteraturan, tapi semesta memang diciptakan begitu. Tidak usah khawatir, ketika kamu percaya pada Penciptanya. Seperti yang kamu tahu, manusia bagian dari semesta. Itulah mengapa manusia seringkali membuat kekacauan. Itulah mengapa sering kali aku kesal menghadapi manusia, tapi aku juga ingin membawanya pada kebaikan.

Manusia memang menyebalkan, tapi aku juga manusia. Dan seringkali, aku manusia yang tidak dimanusiakan. Memang benar, lakukanlah hal yang baik tanpa pernah berekspektasi pada apa yang akan kembali pada diri. Selagi kita jadi manusia, ya jadilah manusia seutuhnya. Hadir seutuh diri, sebagaimana manusia yang mempunyai perasaan dan akal.
Minggu, 18 Januari 2015 0 komentar

Ibu

Teruntuk Ibu, masih ku ingat ketika engkau selalu memaksa membawa bekal ketika aku menginjak TK. Bahkan aku yang selalu menolak untuk sarapan. Saat engkau telah bangun subuh dan memasakkan sayur kesukaanku.



Ada semesta bahasa dalam sujudmu
Ibu, tertera namamu dalam hidupku
Menjadikan ada diatas keyakinan diri
Ibu, ku eja rasa pada setiap masa
Senin, 12 Januari 2015 0 komentar

Bawa aku pulang

Bagaimana kalau aku ingin pulang, tapi tak tahu harus pulang kemana? Pulang ke rumah ? kau tahu sama saja menambah beban karena aku belum selesai skripsi.

Aku ingin pulang. Hujan, bawa aku pulang.
Tuntunlah aku pulang, dari tepian jalan.
Hujan, tunjukkan aku arah pulang.

Hujan, bawa aku pulang lagi.
Aku ingin pulang.

Aku ingin pulang ke tempatmu.
Sebentuk rindu ingin memelukmu.
 
;